Memanfaatkan Barang Bekas Bernilai Rupiah
Tahun ini menjadi salah satu tonggak perjalanan awal karierku di dunia desain interior yang kreatif. Saat teman-temanku masih sibuk bermain di luar rumah, aku justru menemukan kegembiraan dari menyusun dan membentuk benda-benda tak terpakai menjadi sesuatu yang memiliki nilai dan fungsi. Berawal dari sisa-sisa bahan yang ada di rumah seperti kayu bekas potongan las kusen ayahku, ban bekas, botol plastik, hingga pipa paralon, semuanya seakan memiliki potensi tersembunyi jika dilihat dengan kacamata kreativitas.
Inspirasi pertama datang ketika ibu menyuruhku membuat kursi untuk ditempatkan di teras rumah. Aku langsung menyambut tantangan itu dengan semangat. Aku gunakan potongan kayu yang tersisa dari pekerjaan ayah sebagai tukang kayu. Setelah beberapa hari mengukur, mengamplas, menyusun dan mengecat, akhirnya kursi teras itu jadi. Siapa sangka, hasil kerja tangan remaja yang baru masuk sekolah menengah pertama itu justru menarik perhatian tetangga depan rumah saat pertama kali melihatnya.
Ia datang menghampiri, memuji hasil kursi buatanku, lalu bertanya apakah bisa dibuatkan lagi untuknya. Dengan percaya diri, aku katakan bisa. Dan begitulah, kursi teras yang awalnya dibuat untuk ibu, kini justru terjual sebagai kursi pertama hasil desainku. Aku pun kembali membuat kursi baru untuk ibu, dan melanjutkan produksi dengan bahan yang tersisa. Saat itu aku menjual kursi buatanku seharga Rp60.000 per unit. Tak disangka, desain sederhana tapi fungsional itu mampu membuka jalan bagiku.
Penjualan kedua datang tak lama setelahnya, saat ada pelanggan yang memesan pintu ke ayahku. Ketika melihat kursi yang terletak di teras, ia langsung tertarik dan menanyakan apakah itu dijual. Ayahku langsung memanggilku untuk bertanya langsung, dan tanpa pikir panjang, aku sampaikan bahwa aku bisa membuatkannya sesuai permintaan. Pelanggan tersebut pun langsung memesan kursi serupa dan akan mengambilnya bersamaan saat pintu pesanannya selesai.
Yang membuatku makin semangat adalah ketika pelanggan tersebut menambahkan, “Kalau kamu bisa buat semacam bangku kecil juga, yang pendek untuk duduk-duduk atau pijakan, buatkan aku empat ya.” Itulah kali pertamanya aku mendengar istilah dengklek dari pembeli langsung. Aku langsung mengiyakan, dan setelah kursi utama selesai, aku pun merancang dengklek dari potongan kayu kecil yang masih tersisa. Harga yang kusampaikan adalah Rp15.000 per dengklek.
Meski awalnya merasa tantangannya cukup tinggi, ternyata membuat dengklek sangat memuaskan. Prosesnya tidak serumit kursi, namun tetap membutuhkan ketelitian. Aku memilih potongan kayu terbaik, memaku, dan merapikan keseluruhannya dengan amplas agar aman digunakan. Aku pun mengantar empat dengklek dan dua kursi ke rumah pelanggan bersamaan dengan pengantaran pintu yang ayahku buat. Pengalaman ini membuatku merasa benar-benar seperti pengusaha muda rumahan.
Di tengah keterbatasan alat dan bahan, aku juga mulai mengeksplorasi desain lainnya. Salah satu eksperimen yang cukup membanggakan adalah pembuatan lampu sudut dari pipa paralon dan botol bekas. Aku membuat bentuk yang unik dan menggabungkannya dengan lampu bekas kamar. Hasilnya? Lampu itu berhasil membuat suasana kamar jadi lebih estetik dan banyak yang memuji ide tersebut. Saat itu aku mulai berpikir, bahwa kreativitas bisa jadi modal utama menuju masa depan.
Karya lainnya yang juga sempat menarik perhatian adalah meja kecil dari ban sepeda gunung bekas yang aku padukan dengan alas kayu. Meja ini sangat cocok untuk ditaruh di pojok ruang tamu. Aku juga bereksperimen membuat bangku dari bekas wadah cat dan kain sisa taplak meja. Semuanya tidak ada yang mubazir, hanya butuh waktu, niat, dan ide yang menyala.
Dari seluruh karya di tahun itu, aku berhasil menjual total 6 kursi panjang dan 4 dengklek. Angka yang tak besar memang, tapi sangat berarti bagi remaja usia SMP yang belum mengenal marketplace atau sistem jual beli online. Semuanya dilakukan dengan mulut ke mulut, dari tetangga ke pelanggan ayahku, dan melalui kepercayaan langsung atas hasil karya yang terlihat. Itu menjadi pelajaran besar: kualitas dan kejujuran adalah kunci.
Tahun 2014 mungkin hanya awal yang sederhana. Tapi dari kursi kayu, dengklek kecil, dan lampu sudut itulah aku belajar banyak hal: berani mencoba, pantang menyerah, dan percaya pada karya sendiri. Kini, setiap kali melihat kembali foto-foto kursi kayu dan dengklek buatanku dulu, aku merasa ada semangat yang tumbuh untuk terus berkarya dan memberi makna dari hal-hal kecil yang kadang orang anggap tak bernilai.
Komentar
Posting Komentar