Seperempat Abad Perjalananku
Bagian I
Selusin Bab di Seperempat Abad Perjalananku
Sekapur Sirih
Aku tidak lahir dari tempat yang nyaman. Bahkan, untuk disebut “beruntung” pun mungkin terlalu berlebihan. Dinding rumah masa kecilku lebih sering jadi saksi bisu dari ributnya hidup dibandingkan gelak tawa. Tapi anehnya, aku masih ada untuk bernapas, tertawa, dan kini menulis. Kadang aku heran sendiri: kok bisa?.
Kalau hidup adalah ujian, maka kurasa aku pernah ikut try out-nya jauh sebelum waktunya. Aku mengenal kehilangan sebelum benar-benar paham makna punya. Aku melihat air mata ibu, kebingungan ayah, dan rasa takut dalam sunyi. Tapi ya, entah kenapa, semua itu justru jadi bahan bakar. Barangkali Tuhan memang menyusun hidup kita kayak teka-teki absurd. Tapi ternyata rapi.
Aku pernah mencoba jadi anak sempurna. Dapat ranking, aktif organisasi, jadi pelatih, jadi penyiar, bahkan jadi pemimpin. Tapi tetap aja, ada malam-malam di mana aku merasa kosong. Kayak... hidup ini ramai, tapi aku tetap sendiri. Mungkin, di titik itu aku mulai paham, bahwa Tuhan bukan cuma soal menjawab doa. Dia juga soal diam dan menguatkan.
Cerita ini bukan tentang sukses besar. Ini bukan cerita “lihat aku sekarang” yang penuh pencapaian dan glamor. Ini kisah tentang orang biasa, yang sering salah langkah, sering gagal, sering di-bully, tapi terus jalan. Karena hidup memang begitu: kadang kamu menang, kadang kamu cuma bertahan. Dan dua-duanya nggak apa-apa.
Di antara jatuh bangun itu, aku belajar satu hal: Allah selalu tidak buru-buru. Tapi Dia selalu tepat. Dia tidak memberiku jalan pintas, tapi Dia memberiku orang-orang yang tepat di saat genting. Teman, guru, ibu, saudara, mentor, bahkan orang-orang yang baru aku kenal semua hadir dalam timing yang aneh, tapi pas. Seperti Dia ingin bilang, “Tenang. Aku tahu kamu kuat, tapi bukan berarti harus sendiri.”
Aku menulis ini bukan untuk pamer. Aku menulis karena aku tahu ada banyak orang di luar sana yang juga bingung, lelah, dan kehilangan arah. Yang merasa dunia terlalu cepat, terlalu ramai, dan terlalu menuntut untuk terus jadi “berhasil”. Kalau kamu salah satunya, mari duduk sebentar. Di halaman-halaman ini, kamu akan temukan bahwa ujian hidup itu bukan dosa, dan terlambat bukan berarti kalah.
Setiap bab dalam cerita ini adalah ruang. Ruang untuk menertawakan diri sendiri. Ruang untuk menerima bahwa masa lalu nggak bisa dihapus, tapi bisa dikenang. Dan ruang untuk pelan-pelan bilang: “Terima kasih ya, Allah. Ternyata Engkau tetap jaga aku, meski aku sering ngaco.”
Cerita ini juga catatan kecil untuk masa depan. Bahwa tidak semua luka harus disembuhkan agar bisa jadi pelajaran. Bahwa tidak semua pertanyaan harus dijawab sekarang. Kadang cukup dijalani dulu, nanti maknanya akan datang sendiri. Aku percaya, Allah punya cara-Nya sendiri untuk mengolah kecewa jadi karya.
Aku bersyukur pada semua yang hadir dalam hidupku baik sebagai pelindung maupun penguji. Tanpa mereka, ceritaku tak akan pernah ada. Terima kasih kepada keluarga, sahabat, guru, dan setiap pembaca yang sudah memberi waktu untuk membuka lembaran ini. Semoga kisah ini bukan sekadar cerita, tapi juga cermin dan penguat.
Akhir kata, semoga setelah membaca kisah ini, kamu juga bisa menggumam dalam hati:
“Ternyata... betapa Tuhan Maha Baik.”
Bab 1 – Rahim
Lahir di dunia yang tidak aku pilih, dengan takdir yang tidak aku mengerti.
"Aku tidak pernah memilih dilahirkan. Tapi sejak tangisan pertama itu, hidup sudah memilihku untuk bertahan."
Aku lahir di Jambi, dalam suasana yang katanya damai. Tapi aku tidak ingat damainya. Aku hanya mendengar cerita tentang ibu yang menangis bahagia, tentang ayah yang resah di luar ruang bersalin, dan tentang tangisan kecil yang keras. Tangisan itu milikku. Aku, si bungsu. Si kecil yang katanya rewel sejak hari pertama.
Rumah kami sederhana. Dindingnya bisa mendengar semua. Tangisan, pertengkaran, doa, bahkan keheningan yang menggantung panjang di malam hari. Sejak bayi, aku terbiasa tidur di tengah suara gaduh. Entah dari dalam rumah, atau dari dalam hati orang-orang di dalamnya. Tapi aku tak tahu, mungkin semua rumah di dunia juga begitu. Atau mungkin hanya rumah kami.
Ibuku bilang, aku istimewa. Tapi istimewa itu kadang hanya cara halus untuk menyebut “berbeda”. Aku sering sakit, sering menangis malam-malam, sering membuatnya begadang. Tapi ia tidak pernah marah. Ia bilang, “Kamu ini ujian yang manis.” Sekarang aku baru paham: bisa jadi aku memang bukan bayi yang mudah dirawat, tapi aku lahir dari rahim yang sangat sabar.
Sejak usia beberapa bulan, aku sudah jadi semacam pusat rotasi keluarga. Bukan karena aku hebat, tapi karena semuanya berubah sejak aku ada. Kami pindah rumah. Jambi tinggal cerita. Medan jadi tujuan. Aku digendong dalam perjalanan yang panjang dan panas. Bus tua, kardus-kardus, wajah letih semuanya jadi bagian dari bab awal hidupku. Lucu, ya? Belum bisa bicara, tapi sudah ikut pindah hidup.
Waktu aku bisa berjalan, katanya aku tidak mau diam. Waktu aku bisa bicara, aku cerewetnya bukan main. Waktu aku belajar makan, sendok jadi senjata untuk memberantakin meja makan. Tapi keluargaku tidak pernah melihatku sebagai masalah. Mungkin karena mereka sudah terlalu sering menghadapi masalah yang lebih besar. Atau karena di tengah kekacauan, aku satu-satunya yang masih membuat mereka genting.
Kadang aku bertanya, kenapa aku dilahirkan di sini? Kenapa bukan di keluarga kaya? Kenapa bukan di rumah yang adem dan penuh dengan kebersamaan? Kenapa harus di pinggiran kota, tempat anak-anaknya cepat dewasa karena hidup tidak sabar menunggu? Tapi sekarang aku tahu, Allah tidak menempatkanku salah. Dia hanya menempatkanku di awal yang tidak nyaman, supaya aku tahu caranya berjalan.
Dulu, saat melihat orang lain dengan keluarga utuh, aku sering iri. Tapi aku tidak tahu bahwa utuh itu belum tentu utamanya. Kadang yang kita butuhkan bukan rumah megah, tapi satu pelukan yang tulus saat kita merasa gagal. Dan aku punya itu. Dari ibu. Dari kakak-kakakku. Dari beberapa orang yang diam-diam jadi pelindung tanpa status saudara kandung.
Kalau aku mengingat masa kecilku, rasanya seperti membuka foto buram. Tidak semuanya jelas. Tapi perasaan yang tertinggal sangat hidup. Ada rasa kesepian yang lekat, tapi juga ada rasa hangat yang muncul dari hal-hal kecil: pelukan sebelum tidur, sepiring nasi telur, atau mainan bekas yang aku anggap berharga.
Dan di antara semua kenangan itu, aku menyadari satu hal, aku tidak hebat karena dilahirkan dari rahim yang sempurna. Aku hebat karena dilahirkan dari rahim yang tetap bertahan, bahkan saat dunia seperti runtuh. Betapa Tuhan Maha Baik. Karena di antara ribut dan sempit, Dia menyisipkan cinta yang cukup untuk membuatku tumbuh.
Bab 2 – Lorong
Hidup berpindah-pindah, tapi luka tetap ikut.
"Kita memang bisa pindah rumah, tapi tidak selalu bisa pindah dari rasa."
Rumah yang kutinggali waktu kecil bukan rumah dengan pagar besi dan taman kecil. Rumah kami lebih mirip bangunan yang sederhana dengan tembok plaster, atap seng, dan gang sempit yang hanya cukup dilalui satu mobil. Tapi lorong itulah tempat aku belajar berjalan, berteriak, dan kadang menangis dalam diam. Aku hafal sekali suara mesin yang berderit saat ayah kerja, atau suara panci yang dilempar saat dirinya sedang marah. Ruang pribadi hampir tidak ada. Tapi dari rumah itu, aku belajar hidup penuh kekhawatiran tanpa merasa sesak. Karena bangunan yang sederhana tidak selalu berarti jiwa yang sempit.
Saat aku belum dilahirkan, orang tuaku pernah pindah dari satu rumah ke rumah lain. Kadang karena ingin ke kota lain. Kadang karena kami tidak cocok dengan lingkungan. Tapi ke mana pun kami pindah, perasaan yang menempel tetap sama: aku sedang tumbuh di tengah sesuatu yang belum selesai. Keluarga kami sedang mencari bentuk. Dari sebelum lahir hingga aku hadir di dunia ini, suasana rumah tidak pernah benar-benar tenang.
Suatu hari, aku pulang dari sekolah dasar dan mendapati barang-barang dikemasi. Aku kira kami pindah lagi. Ternyata ayah akan pergi. Bukan untuk bekerja. Tapi pergi yang tidak akan kembali ke rumah yang sama. Aku tidak mengerti semuanya saat itu. Tapi aku ingat beberapa hari lalu: Dimana barang-barang bertaburan, hancur berkeping-keping, nada yang saling membentak, jeritan Ibu dan juga amarah Ayah. Diriku yang mendengar itu hanya meringkuk ketakutan. Dan sejak hari itu, aku mengenal sejenis kehilangan yang tidak ada upacaranya.
Di lorong tempatku tinggal, tetangga bukan sekadar tetangga. Mereka tahu kabar kita bahkan sebelum kita sendiri sadar. Ada yang baik. Ada yang sinis. Ada yang bisik-bisik di belakang pagar seng, menyebut ibuku janda sebelum hari resmi bercerai. Tapi ibuku tidak pernah balas. Ia lebih sibuk menghidupi kami daripada membantah orang.
Aku tumbuh dengan dua perasaan: malu dan berani. Malu karena hidup kami kelihatan “tidak utuh”. Berani karena setiap pagi aku harus tetap sekolah, membawa badan kurusku melintasi gang itu, menyapa orang-orang yang mungkin sedang menilai diam-diam. Tapi siapa peduli? Aku tetap jalan. Karena ternyata malu itu bisa dikalahkan dengan keinginan untuk bertahan.
Di lorong itu pula aku belajar berdoa. Bukan doa yang fasih dan panjang, tapi doa diam-diam: agar besok lebih baik. Agar ibu tetap sehat. Agar kami bisa makan lebih enak dari sekadar mie rebus yang lebih banyak kuahnya dibandingkan mie itu sendiri. Lucu memang, dulu aku pikir hidup orang lain pasti jauh lebih baik. Tapi kini aku sadar, orang di rumah megah pun belum tentu punya ruang hangat seperti perjuangan ibu dalam rumah sederhana kami.
Aku ingat hari ketika hujan turun deras dan masuk ke dalam rumah untuk pertama kalinya. Aku memindahkan air dengan ember, baskom, bahkan panci. Tapi di tengah kekacauan itu, aku sadar. Bukan karena digigit lintah. Tapi karena itu adalah petanda, rumah yang penuh kenangan itu akan dijual ayah yang menunggu kapan lakunya tiba. Di situlah aku belajar: hidup tak selalu bisa diperbaiki hari itu juga. Tapi bisa diterima dulu, baru dijalani lagi besok.
Dari lorong sempit itu, aku lahir ulang. Bukan secara fisik, tapi secara batin. Aku tidak lagi berharap hidup yang lapang. Aku hanya ingin hati yang cukup luas untuk menerima sempitnya dunia. Dan entah bagaimana, Tuhan pelan-pelan mengajarkanku itu. Lewat jalan yang jauh dari nyaman, tapi sangat dekat dengan makna.
Dan hari ini, saat aku duduk menulis semua ini, aku sadar satu hal: meski pernah tinggal di dalam gang, hidupku ternyata tidak berhenti di situ. Justru dari sana aku dilatih, bukan untuk menyalahkan awalku, tapi untuk menciptakan akhirku sendiri.
Bab 3 – Retakan
Broken home, bisik setan, dan keheningan yang meresahkan.
“Kadang rumah tidak harus roboh untuk terasa runtuh. Kadang hanya cukup dengan dua orang dewasa yang tak lagi saling bicara.”
Ada satu masa di hidupku ketika suara menjadi langka. Bukan karena kami kehabisan kata, tapi karena kami sedang menghindari kebenaran yang terlalu menyakitkan untuk diucapkan. Ayah dan ibu tak lagi duduk di meja makan yang sama. Tawa di rumah mulai terdengar asing. Dan aku, anak kecil yang belum tahu definisi perceraian, hanya bisa tidur dibawah tempat tidur kakakku yang berlapiskan kardus bekas, agar tangisku tak terlihat di dalam gelap.
Tidak ada percakapan serius yang menjelaskan apa yang sedang terjadi. Tapi anak kecil bisa merasa, bahkan sebelum dia bisa mengerti. Kehadiran yang dingin, pandangan yang tajam, dan pintu yang lebih sering tertutup, semuanya jadi bahasa sunyi yang lebih nyaring dari teriakan.
Lalu suatu hari, ayah pergi. Tidak dengan drama. Tidak dengan perpisahan resmi. Tapi seperti angin yang mendadak menghilang. Dan sejak itu, rumah kami berubah jadi ruang tunggu. Menunggu kenyataan kapan rumah itu akan laku. Menunggu hati menerima. Menunggu seseorang kembali atau menerima bahwa tidak akan ada yang kembali.
Tapi hidup tetap berjalan. Ibu tetap masak. Aku tetap sekolah. Kakakku tetap bekerja. Dari luar, kami tampak seperti keluarga baik-baik. Tapi dari dalam, kami belajar berdamai dengan lubang yang tidak bisa ditambal. Dan bagi anak kecil, itu bukan hal yang mudah. Apalagi ketika bayangan kehilangan belum punya bentuk yang bisa dipahami.
Malam-malamku sering dipenuhi mimpi buruk. Aku ingat malam ketika tubuhku gemetar, tak bisa dikendalikan. Seolah ada yang merasuki. Tubuhku menggigil, lidahku kaku. Ibu panik, kakakku sibuk mencari bantuan ke orang lain, dan aku... hanya bisa pasrah. Mereka bilang aku kesurupan. Tapi bagi diriku sendiri saat itu, aku hanya merasa sangat kosong ketika melamun. Kesurupan itu bukan pertama kalinya aku alami, melainkan aku sudah mengidapnya dari umur 5 bulan, tepat ketika aku telah menjadi anak yang “berbeda”, dan disaat ibu membilang aku istimewa.
Setelah beberapa kali kejadian seperti itu, ibu mulai membawaku ke tempat-tempat pengobatan. Ada yang mendoakan, ada yang memercikkan air, ada yang memelukku sambil membaca ayat dan mengoleskan kunyit di area tubuhku. Aku tidak tahu apakah itu gangguan gaib, trauma, atau akumulasi luka yang meledak dalam wujud lain. Yang aku tahu: jiwa yang retak bisa memanggil gelap jika dibiarkan terlalu lama sendiri.
Sejak itu, aku mulai dekat dengan Allah. Bukan karena diajari, tapi karena tidak ada lagi tempat untuk bersandar. Aku tidak jadi alim seketika. Tapi aku mulai berbicara sendiri dalam hati, berharap ada kekuatan yang mendengar. Aku mulai hafal doa-doa sederhana. Dan anehnya, tiap kali aku menangis dalam sujud, tubuhku jadi lebih tenang.
Aku sadar, broken home bukan akhir dari rumah. Rumah bisa dibangun lagi, meski bentuknya tidak sama. Kadang rumah itu justru bukan bangunan, tapi pelukan, sapaan teman, atau bisikan doa malam. Dan aku memilih untuk membangun rumah itu dari dalam diriku sendiri.
Tidak mudah, tentu. Tapi kalau bukan karena retakan itu, mungkin aku tidak akan belajar mengenali diriku lebih cepat. Kadang, yang retak lebih jujur daripada yang utuh tapi palsu. Dan lewat semua itu, aku pelan-pelan mengerti: Tuhan tidak sedang menghukumku. Dia sedang mendidikku.
Hari ini, aku masih membawa bekas dari retakan itu. Tapi bekas itu bukan kelemahan. Itu jadi peta penanda bahwa aku pernah patah, tapi tak jadi pecah. Betapa Tuhan Maha Baik, karena meski membiarkan aku remuk, Dia juga mengajarkanku cara menyatukan diri kembali.
Bab 4 – Tumbuh Sendiri
Belajar berdiri tanpa pegangan, belajar percaya meski tidak diajari.
“Tidak ada manual book untuk hidup. Jadi aku belajar langsung dari jatuh.”
Aku tumbuh bukan dari kemewahan, tapi dari kekosongan yang menuntut diisi sendiri. Sejak kecil aku terbiasa mengambil keputusan sederhana: makan apa kalau ibu sedang sibuk, tidur di mana kalau rumah telah terjual, belajar bagaimana meski buku-buku pelajaran yang kupunya sudah lusuh. Tidak ada yang memberiku peta. Tapi Tuhan memberiku kaki. Dan dengan itu, aku belajar melangkah.
Dari bangku SD aku sudah terbiasa mencari cara untuk menyesuaikan diri. Kadang aku jadi anak yang pendiam, kadang jadi anak yang terlalu ramai. Semua tergantung suasana rumah. Kalau rumah penuh riuh, aku lebih suka diam. Tapi kalau rumah terlalu sepi, aku membuat gaduh agar terasa hidup. Aku belajar membaca situasi lebih cepat daripada membaca buku pelajaran.
Saat SMP, aku mulai sadar bahwa aku harus mencari panggung sendiri. Aku tidak bisa hanya menjadi penonton dalam hidup orang lain. Maka aku ikut organisasi, ikut lomba, ikut kegiatan apa saja yang membuatku keluar dari rumah. Di sekolah, aku bisa jadi “seseorang”. Bukan anak bungsu yang merepotkan, bukan korban keadaan, tapi manusia yang bisa berdiri di depan orang banyak tanpa takut.
Tentu saja itu tidak mudah. Aku ingat betapa gugupnya berdiri pertama kali di depan kelas, suaraku gemetar, bahkan sering terbesit di telinggaku "Ngapain aku disini". Tapi setelah semua mata menatapku, aku berkata dalam hati: “Kalau aku bisa melewati rumah, aku pasti bisa melewati ini.” Dan benar. Aku bertahan. Dari situlah muncul keberanian kecil yang terus tumbuh, pelan-pelan.
Aku juga mulai mencari cara untuk punya uang sendiri. Dari hal-hal kecil, jadi panitia lomba, ikut kegiatan, sampai pekerjaan serabutan saat menjadi pelatih kelas memanah. Rasanya menyenangkan ketika bisa membeli sesuatu dari hasil keringat sendiri. Uang receh sekalipun terasa seperti emas. Karena itu bukan sekadar rupiah, tapi bukti bahwa aku bisa mengandalkan diri sendiri. Bahwa aku tidak harus menunggu orang lain untuk menyelamatkanku.
Namun tumbuh sendiri juga berarti menanggung sendiri. Aku pernah salah langkah. Pernah memilih teman yang salah. Pernah jatuh cinta yang salah. Pernah merasa bodoh karena semua usahaku gagal. Tapi anehnya, aku tidak benar-benar menyerah. Karena jauh di lubuk hati, ada bisikan: “Kalau kamu sudah sejauh ini, kenapa berhenti sekarang?”.
Aku belajar percaya meski tidak diajari. Percaya bahwa dunia tidak selalu jahat. Percaya bahwa Tuhan tidak sedang menghukumku, tetapi membentukku. Percaya bahwa setiap langkah, bahkan yang kecil, tetap punya arti. Aku mulai mengerti: hidup ini bukan soal cepat atau lambat, tapi soal terus atau berhenti.
Hari ini, ketika aku menoleh ke belakang, aku melihat anak kecil yang pernah terlalu cepat dewasa. Dia sering menangis, sering kesepian, tapi juga sering nekat. Dan aku ingin memeluknya, bilang: “Kamu sudah cukup. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Teruskan saja, karena Tuhan tidak pernah main-main menaruhmu di sini.”
Betapa Tuhan Maha Baik. Dia tidak memberiku jalan mulus, tapi Dia memberiku tenaga untuk tetap berjalan meski jalannya berbatu. Dan ternyata, itu lebih berharga. Karena dengan begitu, aku tumbuh sendiri, tapi tidak pernah benar-benar sendirian.
Bab 5 – Panggung Kecil
Organisasi, lomba, mikrofon. Tapi tetap bingung arah.
“Aku tidak lahir di panggung. Tapi entah kenapa, sejak kecil hidup sering menyeretku ke depan orang banyak.”
Di SMK, aku bukan murid paling pintar. Mendapatkan ranking lima besar atau juara ketiga konten kreator tingkat SLTA se-provinsi Sumatera Utara yang diadakan Indosat Ooredoo saja sudah cukup membuat ibu tersenyum lega. Uang jajanku hanya seratus ribu rupiah seminggu. Lima puluh ribu harus kugunakan untuk membeli minyak motor setiap tiga hari sekali, dan sisa lima puluh ribunya kucoba atur agar cukup sampai akhir pekan. Setiap hari aku membeli nasi lima ribu, parkir dua ribu, lalu kalau masih ada sisa, kubelikan es saset seribuan. Semuanya benar-benar pas-pasan. Aku sengaja memilih nasi saat itu, agar bisa mengganjal lapar, karena sekolahku menggunakan sistem full day dari pukul tujuh tiga puluh pagi hingga empat tiga puluh sore.
Kadang aku bertanya dalam hati, “Bagaimana bisa aku bertahan dengan uang sesedikit ini?” Namun anehnya, aku tetap bisa menjalani hari-hari itu. Pernah sekali seorang teman memperhatikanku, lalu menanyakan berapa uang jajanku. Ia terkejut mendengar betapa sedikit uang yang kumiliki untuk ukuran siswa SMK full day pada masa itu. Sementara aku hanya tersenyum, karena dari SD aku sudah terbiasa seperti ini, menggandalkan uang seribu untuk jajan, dan berlanjut di SMP menjadi dua ribu rupiah. Semua itu bukan karena Ibuku pelit, melainkan kami sedang mengalami krisis finansial saat Ibu dan Ayah berpisah, cuma saja aku difasilitasi motor oleh Ayah ketika SMK, dikarenakan jarak sekolah yang begitu jauh dari rumahku.
Tapi, ada satu hal yang terus memanggilku: berdiri di depan orang lain. Entah itu menyampaikan kata sambutan di acara Maulid Nabi, menyusun program kerja di organisasi saat menjadi kepala divisi, atau sekadar presentasi di depan kelas. Rasanya menakutkan, tapi juga candu. Seolah-olah panggung kecil itu memberiku ruang untuk jadi seseorang.
Aku mulai aktif di organisasi. Dari pramuka, OSIS, hingga ekstrakurikuler di sekolah. Tidak ada yang glamor. Bahkan sering kali aku hanya jadi panitia konsumsi atau tukang dokumentasi. Tapi dari sana aku belajar arti kerja sama, arti lelah, dan arti punya peran meski tak semua orang melihat. Kadang peran terkecil justru yang membuat sebuah acara tetap berjalan.
Panggung juga hadir lewat masjid. Aku bergabung dengan remaja masjid, awalnya hanya ikut-ikutan teman. Tapi dari sana aku belajar lebih banyak: tentang kerja sosial, tentang jadi suara yang mengajak orang, bahkan tentang bagaimana menata kata di mikrofon agar orang mau mendengar saat aku menyampaikan kata sambutan sebagai ketua panitia acara. Aku yang dulu merasa tidak dianggap, tiba-tiba bisa bicara dan orang mendengarkan. Itu rasanya... luar biasa.
Tentu, tidak semua berjalan mulus. Aku pernah grogi setengah mati saat harus membawakan acara. Suaraku gemetar, keringat dingin, tangan tak bisa diam. Pernah juga salah lafadz Adzan di toa Masjid dan seluruh orang menahan tawa. Aku malu. Tapi lucunya, aku tidak kapok. Justru aku makin penasaran bagaimana caranya bisa melakukannya tanpa salah, bisa berdiri tanpa goyah.
Selain panggung formal, ada juga panggung sederhana, lingkaran pertemanan. Aku belajar jadi pendengar, kadang jadi penengah, kadang jadi orang yang memberi saran meski sebenarnya aku sendiri bingung. Di setiap lingkaran kecil itu, aku menemukan panggung yang berbeda. Kadang aku pemeran utama, kadang figuran, tapi semuanya penting dalam prosesku memahami manusia.
Namun, semakin sering aku naik panggung, semakin sering pula aku bertanya: “Sebenarnya aku ini siapa? Apa aku pantas bicara di depan orang, sementara aku sendiri belum selesai dengan diriku?” Pertanyaan itu menghantui. Tapi entah bagaimana, aku terus saja kembali ke panggung berikutnya, seolah Allah tahu aku hanya bisa belajar dengan cara itu.
Dari panggung-panggung kecil inilah aku belajar arti keberanian. Bahwa berani bukan berarti tidak takut, tapi tetap berdiri meski takut setengah mati. Dan setiap kali aku selesai, meski dengan suara patah-patah, aku merasa satu langkah lebih jauh dari anak kecil yang dulu hanya bersembunyi di sudut kamar dan berbicara dengan kakek tak kasat mata yang menjadi teman curhatku.
Panggung kecil memang tidak memberi tepuk tangan yang meriah. Tapi dari sanalah aku mulai menemukan diriku. Bahwa mungkin aku tidak lahir untuk jadi sempurna, tapi aku lahir untuk mencoba. Dan setiap kali aku mencoba, aku merasa Tuhan sedang berbisik:
“Lihat? Kamu sanggup. Kamu tidak sekecil yang kamu kira.” Betapa Tuhan Maha Baik, karena lewat panggung kecil, Dia sedang melatihku untuk kelak menghadapi panggung yang lebih besar.
Bab 6 – Terseret Arus
Cinta pertama, ekspektasi orang, dan identitas yang mulai kabur.
"Kadang kita tidak berjalan dengan kaki sendiri, tapi hanyut oleh arus yang tidak kita sadari."
Masa remaja memperkenalkan aku pada banyak wajah: pertemanan yang ramai, organisasi yang menuntut, guru yang punya ekspektasi, dan bisikan kecil dalam hati yang mulai menanyakan jati diri. Semua datang bertumpuk, semua menuntut jawaban yang tidak bisa kutemukan.
Aku ikut organisasi karena diajak teman, ikut lomba karena dipaksa guru, ikut kegiatan masjid karena dorongan lingkungan. Tidak semuanya salah, tapi di tengah semua itu aku sering bertanya: ini benar-benar pilihanku, atau sekadar ikut-ikutan?.
Lalu datanglah cinta pertama. Ringan, polos, dan tentu saja naif saat aku menjadi remaja masjid. Rasanya seperti menemukan alasan baru untuk bersemangat mengikuti organisasi di lingkunganku. Senyum kecil bisa jadi tenaga seharian. Tapi cinta remaja juga gampang tumbuh, gampang layu. Aku belajar cepat, bahwa hati juga bisa lelah meski baru mengenal perasaan.
Ekspektasi orang-orang semakin berat. Aku harus jadi panutan di organisasi, harus tetap berprestasi di kelas, harus jadi anak baik di rumah. Semuanya membuatku seperti memakai topeng yang berbeda-beda, berganti sesuai panggung. Sampai aku bingung, wajah asliku yang mana.
Dalam kebingungan itu, aku mulai terseret. Ikut nongkrong meski tak betah, ikut gaya teman meski tidak cocok, ikut arus trend meski dompet tak mendukung. Semua kulakukan bukan karena suka, tapi karena takut berbeda. Takut dianggap aneh. Takut sendiri.
Namun, semakin jauh aku hanyut, semakin besar rasa asing di dalam diri. Aku tersenyum di luar, tapi di dalam terasa kosong. Aku seperti aktor yang lupa naskahnya sendiri, hanya membaca dialog orang lain tanpa pernah tahu apa sebenarnya yang ingin aku katakan.
Ada momen aku duduk sendiri di masjid saat rapat remaja masjid. Sementara teman-temanku ramai bercanda, aku diam menatap lantai. Aku merasa seperti sedang tenggelam dalam riuh. Saat itulah aku sadar: terlalu sering aku hidup demi ekspektasi orang, dan jarang sekali bertanya apa yang sebenarnya aku mau.
Tapi Allah selalu punya cara untuk mengingatkan. Lewat kegagalan cinta pertama, lewat nilai ujian yang jeblok, lewat malam-malam panjang yang penuh resah, aku dipaksa berhenti sejenak. Dipaksa menatap diri sendiri. Bahwa arus tidak selalu harus diikuti. Kadang kita harus belajar berenang ke arah lain.
Dan di situlah aku pelan-pelan belajar: identitas bukan sesuatu yang bisa ditentukan orang lain. Ia harus dicari, meski lewat terseret, terjatuh, dan terbentur. Betapa Tuhan Maha Baik, karena bahkan dalam arus yang menyeret, Dia masih menyisakan tepi untukku berpijak.
Bab 7 – Lemas
Ditinggalkan yang gaib, ditinggalkan juga oleh kawan.
Aku masih ingat jelas, ketika liburan setelah tamat SD, ibuku mengajakku ke Bali, tempat kakaku menetap setelah ia menikah. Seharusnya itu menjadi momen bahagia, tapi justru menjadi titik balik yang tak pernah kulupakan. Di sana, aku mengalami kesurupan untuk terakhir kalinya. Tubuhku bergetar, suaraku bukan lagi suaraku, dan aku seperti bukan aku. Semua orang panik, tapi akhirnya kejadian itu berhenti. Dan sejak hari itu, makhluk gaib yang sering hadir dalam hidupku… pergi.
Awalnya aku merasa lega. Siapa sih yang mau ditempeli hal-hal gaib? Tapi ternyata, kehilangan itu bukan kebebasan. Setelah makhluk itu hilang, tubuhku terasa sangat lemah. Energi yang biasanya anehnya membuatku kuat, hilang begitu saja. Aku pulang dari liburan dengan tubuh yang ringkih, wajah pucat, dan semangat yang ikut terkuras.
Saat SMP dimulai, aku masuk dengan tubuh yang berbeda dari teman-teman sebayaku. Aku lebih kurus, lebih pendiam, lebih sering melamun. Itu membuatku jadi sasaran empuk. Semua itu terjadi berawal dari jam pelajaran olahraga, aku selalu menolak ajakan mereka untuk bermain bola bersama, sehingga itu membuat mereka marah karena mereka kekurangan satu orang untuk membentuk dua tim. Mereka melihat kelemahanku sebagai alasan untuk menjadikan aku bahan ejekan. Aku resmi jadi korban bullying.
Mereka memanggilku dengan nama-nama yang menyakitkan. Kadang mendorongku di kelas. Kadang menyembunyikan bukuku. Kadang ditindas di sudut ruang kelas. Aku sering pulang dengan hati remuk, tapi memilih diam. Karena siapa yang bisa kuceritakan? Bahkan aku sendiri tidak tahu kenapa semua harus menimpaku.
Ada kalanya aku bertanya, apakah ini harga dari kehilangan makhluk gaib itu? Dulu aku takut, tapi setidaknya aku tidak sendirian. Dulu tubuhku sering diguncang, tapi aku merasa dijaga dalam cara yang aneh. Sekarang ketika ia hilang, aku seperti kosong. Kosong, dan mudah dijatuhkan orang lain.
Hari-hari SMP menjadi ujian kesabaran. Aku belajar menahan tangis, menahan marah, menahan semua sakit hati agar tidak meledak. Guru tidak tahu, orang tua tidak menyadari. Aku berperan sebagai murid biasa, tapi di balik senyum palsu itu aku membawa luka yang diam-diam tumbuh semakin dalam.
Bullying itu membuatku takut pada keramaian. Setiap masuk kelas, aku seperti menyiapkan perisai tak terlihat. Ejekan mereka yang semakin keras, dorongan semakin kuat, dan aku semakin terpojok. Sejak itu aku menyerah. Aku memilih diam. Lebih baik dipukul tanpa balasan daripada terus-menerus menjadi tontonan.
Namun di balik semua itu, ada satu hal yang perlahan muncul: ketahanan. Tubuhku mungkin lemah, hatiku sering runtuh, tapi ada satu bagian dalam diriku yang menolak mati. Bagian itu berbisik, “Bertahanlah. Suatu saat semua ini akan selesai.” Dan anehnya, bisikan itu cukup untuk membuatku terus berjalan dari hari ke hari.
Aku sebenarnya tidak pernah berani melawan dari awal masuk SMP. Selama ini aku memilih diam, menahan semua perlakuan mereka. Tapi satu hari, saat ujian nasional semakin dekat, sekolah memberi waktu satu hari penuh khusus untuk belajar di kelas. Aku berusaha fokus membaca buku, berusaha menenangkan diriku. Namun justru di saat itu, teman-temanku kembali mengusikku. Salah satunya menjepretkan dasi ke arah wajahku, seolah-olah menguji seberapa lama aku bisa tetap diam.
Entah kenapa, hari itu aku tidak bisa lagi menahan diri. Refleksku bekerja lebih cepat dari pikiranku. Tanganku terayun, menghantam bagian mata temanku yang menjepretku. Darah pada kelopak matanya keluar seketika yang sebelumnya tidak pernah aku dapatkan dari penindasan mereka. Suasana kelas yang semula riuh langsung berubah hening. Semua menatapku dengan wajah terkejut. Aku sendiri bahkan tak percaya dengan apa yang baru saja kulakukan, bahkan aku takut mereka membalasnya dikemudian hari.
Anehnya, tidak ada yang melaporkanku ke guru. Justru teman-teman sekelas berusaha menutupi kejadian itu, bahkan ketika ada guru lewat di depan kelas. Seolah-olah mereka sepakat menjaga rahasia. Dan dihari itu juga aku terakhir kalinya di bully mereka, karena mereka tidak lagi berani menggangguku dikemudian hari. Hari itu aku belajar satu hal: diam bukan berarti lemah, dan sekali melawan bisa mengubah cara orang memandang kita. Mungkin itulah cara Allah menunjukkan bahwa kesabaran pun ada batasnya. Karena Dia tahu kapan harus memberiku keberanian yang meledak dari dalam diriku sendiri.
Bab 8 – Uang Pertama
Dari Rp100.000 hingga laptop, dari remaja masjid ke bisnis kecil.
Aku masih ingat betul, bagaimana rasanya menghasilkan uang Rp100.000/jam pertama yang benar-benar kudapat dari hasil keringatku sendiri. Bukan dari pemberian orang tua, bukan dari uang jajan sisa, tapi dari kerja yang kulakukan dengan sungguh-sungguh. Jumlahnya memang kecil, tapi rasanya seperti memegang dunia.
Uang itu kudapat saat menjadi pelatih ekstrakurikuler di sebuah sekolah yang memintaku memandu para pelajar kelas memanah. Tugasku sederhana, mengajari mereka bagaimana cara memanah dengan baik hingga memasang tali busur yang benar. Saat selesai, aku diberi amplop. Ketika kubuka, ada selembar uang di dalamnya. Aku tertegun. Untuk pertama kalinya, tenagaku dihargai dengan nyata.
Aku pulang membawa uang itu dengan hati berdebar. Aku tidak langsung membelanjakannya. Aku langsung memberikan separuh pendapatanku untuk Ibu. Malam itu aku tidur dengan senyum kecil, karena aku merasa berhasil menjadi mandiri walau hanya sedikit.
Setelah itu, aku mulai mencari kesempatan lain. Kadang dari membantu kegiatan remaja masjid, kadang mengurus keperluan teman yang butuh jasa kecil. Setiap rupiah yang kudapat membuatku semakin percaya diri. Bahwa aku bisa menghasilkan sesuatu sendiri.
Dari uang-uang kecil itu, aku belajar mengatur. Menyisihkan sebagian untuk ibu yang selama ini menjadi pahlawan kami di rumah, membelanjakan secukupnya, dan menyimpan untuk sesuatu yang lebih besar. Aku tidak pernah benar-benar boros, karena aku tahu betapa sulitnya mendapatkan setiap lembar itu.
Puncaknya adalah ketika aku bisa membeli laptop sendiri. Bukan barang mewah, tapi bagiku itu pencapaian luar biasa. Laptop itu menjadi saksi kerja-kerja kecilku, tulisan-tulisanku, dan mimpi-mimpi yang mulai kubangun.
Aku juga pernah mencoba bisnis kecil. Membuka jasa desain sederhana, membantu teman, atau menawarkan jasaku. Tidak semuanya sukses. Ada yang gagal total, ada yang tidak dihargai sama sekali. Tapi setiap kegagalan tetap memberiku pelajaran: bahwa uang punya cara keras untuk mengajarkan tanggung jawab.
Uang pertama mengubah caraku memandang hidup. Aku tidak lagi hanya menunggu, tapi belajar bergerak. Aku tidak lagi hanya bergantung, tapi belajar berusaha. Meski nominalnya kecil, tapi ia menyalakan api yang besar dalam diriku.
Kadang aku bertanya-tanya, kenapa Allah memberiku jalur ini? Kenapa tidak langsung diberi kelimpahan saja? Tapi mungkin justru karena nominal kecil itulah aku belajar menghargai. Aku belajar bersyukur untuk hal yang sederhana.
Dan kini, setiap kali aku melihat kembali perjalanan itu, aku sadar: uang pertama bukan sekadar kertas. Ia adalah tanda lahirnya harga diri baru. Betapa Tuhan Maha Baik, karena lewat selembar uang, Dia mengajariku arti berjuang.
Bab 9 – Gagal yang Diajarin
SNMPTN, SBMPTN, dan pilihan Tuhan yang lebih tepat.
Aku dulu percaya bahwa SNMPTN adalah segalanya. Jalur tanpa tes, jalur yang dianggap paling bergengsi, jalur yang katanya hanya untuk mereka yang berprestasi. Aku masuk dengan penuh harapan, membayangkan bisa kuliah di kampus negeri dengan mudah.
Tapi ketika pengumuman tiba, kenyataan berkata lain. Aku gagal. Tidak ada namaku di daftar itu. Rasanya seperti ditampar keras. Aku menutup layar laptop dengan dada sesak. Semua kerja keras terasa runtuh begitu saja. Hari itu aku merasa tidak cukup baik, tidak cukup pintar, tidak cukup beruntung.
Namun aku tidak berhenti di situ. Tuhan seolah berbisik bahwa masih ada jalan lain. Aku mencoba lagi lewat SBMPTN. Berjuang dengan ujian, menunggu dengan cemas, berharap tanpa banyak ekspektasi. Dan kali ini, kabar baik datang. Aku lolos di kampus negeri lewat jalur tes itu.
Awalnya aku masih menyimpan rasa kecewa karena tidak berhasil lewat SNMPTN. Tapi perlahan aku mulai mengerti. Pilihan Tuhan selalu lebih tepat daripada pilihanku sendiri. Temanku yang jauh lebih pintar dariku, yang selalu juara kelas, lolos di SNMPTN ke program studi yang sama yang dulu juga kuincar: TV dan Film.
Namun kenyataan berkata lain. Meski pintar, ia harus berhenti kuliah di tengah jalan. Beban kuliah yang berat, tugas yang menuntut kesempurnaan, dan ritme 24 jam penuh untuk menyiapkan karya, membuatnya tidak sanggup bertahan. Dari situ aku sadar: andai aku yang lolos ke sana, mungkin aku akan bernasib sama, bahkan lebih cepat tumbang.
Kegagalanku di SNMPTN ternyata adalah penyelamatan. Allah tidak salah menempatkanku di jurusan Manajemen Bisnis, jurusan yang sesuai dengan kapasitas dan jalan hidupku. Jurusan yang membuatku bisa berkembang dengan ritme yang lebih cocok, sambil tetap membentuk karier dan karakterku sedikit demi sedikit.
Lewat jalur SBMPTN, aku justru menemukan dunia yang lebih pas. Aku bisa berproses tanpa harus kehilangan diri sendiri. Aku bisa tumbuh tanpa tercekik ekspektasi. Dan dari situ, aku belajar bahwa kegagalan bukan akhir, tapi cara Tuhan mengarahkan kita pada jalan yang lebih ramah untuk dijalani.
Puncaknya adalah ketika aku mendapatkan beasiswa Bank Indonesia. Sebuah kesempatan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Beasiswa itu bukan sekadar dana, tapi juga wadah pembentukan diri. Dari sana aku belajar organisasi, kepemimpinan, hingga mendapat dukungan penuh untuk terus maju. Itu adalah bukti nyata bahwa pilihan Allah memang yang terbaik.
Jika dulu aku ngotot ingin lulus SNMPTN, mungkin aku sudah berhenti di tengah jalan. Tapi karena gagal, aku justru bisa sampai sejauh ini. Aku bisa melihat bagaimana Tuhan menyesuaikan beban dengan kemampuanku, tanpa harus memaksakan yang bukan untukku.
Kini aku paham. Gagal di SNMPTN bukan aib, tapi anugerah yang tersamar. Betapa Tuhan Maha Baik, karena lewat kegagalan, Dia justru menaruhku di jalan yang paling sesuai dengan diriku, jalan yang membawaku lebih dekat dengan mimpi.
Bab 10 – Mikrofon Tuhan
Penyiar, pemimpin, pelayan.
Aku tidak pernah menduga kalau suatu hari mikrofon akan menjadi bagian penting dari perjalananku. Dari kecil aku sering bicara di depan orang, tapi saat magang di I-Radio Medan, suara yang dulu hanya bergema di kelas kini benar-benar disiarkan ke udara. Untuk pertama kalinya, aku menyapa orang banyak tanpa melihat wajah mereka, hanya lewat mikrofon.
Rasanya aneh sekaligus menegangkan. Di balik kaca studio, lampu merah menyala tanda siaran dimulai. Tanganku sempat berkeringat, lidahku hampir kelu. Tapi ketika musik diputar dan aku diminta bicara, tiba-tiba saja kata-kata mengalir. Hay listener...! Kataku saat menyapa pendengar setia Iradio. Aku belajar bahwa suara bisa jadi pengikat, bisa jadi teman, bisa jadi hiburan. Saat itu aku sadar, mungkin mikrofon ini adalah salah satu cara Tuhan berbicara lewat diriku.
Dari penyiar, perjalanan membawaku ke peran lain: pemimpin. Di GenBI Komisariat Unimed, aku dipercaya menjadi Kepala Divisi Publikasi dan Sosialisasi. Di sana aku tidak lagi hanya bicara, tapi juga menggerakkan orang lain. Aku memimpin tim, menyusun program kerja, membuat website, bahkan menciptakan filter Instagram untuk meramaikan kegiatan.
Tanggung jawab itu tidak mudah. Ada konflik kecil, ada kendala teknis, ada rasa lelah yang kadang membuatku ingin menyerah. Tapi aku belajar, kepemimpinan bukan soal berkuasa, melainkan soal melayani tim agar mereka bisa bersinar bersama. Dari situ aku belajar mengatur ego, mengutamakan kebersamaan, dan tetap berdiri di depan meski dalam hati goyah.
GenBI bukan sekadar organisasi. Ia adalah wadah yang mengubah caraku melihat dunia. Lewatnya aku belajar arti jejaring, arti mengabdi, dan arti menjaga amanah dari sebuah beasiswa. GenBI memberiku keluarga baru, tempat di mana aku tumbuh lebih cepat dari yang pernah kubayangkan.
Lalu datang kesempatan lain: magang di Bank Indonesia. Tidak lagi sebagai penyiar atau pemimpin, tapi kali ini sebagai pelayan. Aku ditempatkan di Tim Sistem Pembayaran, mengurus pengarsipan dokumen, menginput data di BIRMS, hingga masuk ke ruang filing cabinet yang penuh tumpukan kertas.
Sekilas pekerjaan itu sederhana. Tidak ada sorotan, tidak ada tepuk tangan. Tapi justru di sanalah aku belajar arti disiplin, arti detail, dan arti kesetiaan pada hal-hal kecil. Karena tanpa pengarsipan yang rapi, sistem besar pun bisa kacau. Dari sana aku mengerti: melayani kadang berarti bekerja dalam diam.
Ketiga pengalaman seperti penyiar, pemimpin, dan pelayan membentuk sebuah pola. Allah seakan memberiku mikrofon, bukan hanya untuk bicara di radio, tapi juga untuk bersuara saat memimpin, dan bahkan untuk tetap bersuara dalam diam saat melayani. Mikrofon itu bukan alat, tapi simbol panggilan.
Aku sadar, setiap peran punya waktunya. Kadang aku harus terdengar, kadang aku harus memimpin, kadang aku harus mengalah dan melayani. Semuanya adalah cara Tuhan menyiapkan diriku untuk perjalanan yang lebih panjang.
Kini, setiap kali aku menoleh ke belakang, aku melihat benang merahnya. Dari ruang siaran I-Radio, ruang rapat GenBI, hingga ruang arsip Bank Indonesia, aku selalu memegang “mikrofon Tuhan” dalam wujud berbeda-beda. Betapa Tuhan Maha Baik, karena lewat mikrofon itu, Dia melatihku untuk terus belajar menjadi suara, menjadi pemimpin, dan menjadi pelayan.
Bab 11 – Rumah yang Pergi
Ketika rumah dijual, lalu kehilangan mereka satu per satu.
Rumah itu dulu adalah saksi semua retakan dan tawa yang tersisa. Tapi suatu hari, rumah itu benar-benar hilang. Ayah menjualnya. Hasil penjualan dibagi dua: separuh untuk ayah, separuh untuk ibu. Di titik itu, aku sadar, keluarga kami benar-benar berpisah, bukan hanya dalam hati, tapi juga dalam wujud nyata.
Ayah memanfaatkan bagiannya dengan cara yang kukira akan mengubah hidupnya. Ia membeli dua motor gede, kebanggaan yang selalu ia idamkan dari dulu, dan juga mesin tambahan untuk pekerjaannya. Sementara ibu menggunakan bagiannya untuk membangun rumah kecil di pinggiran kota Medan, dekat dengan saudaranya. Rumah minimalis, tapi cukup untuk berlindung.
Namun bagi diriku, penjualan rumah itu adalah kehilangan yang lebih dalam. Bukan hanya kehilangan atap, tapi juga kehilangan titik temu. Rumah yang dulu, meski penuh luka, tetap jadi tempat kembali. Setelah dijual, aku merasa seperti anak yang tidak punya tanah berpijak.
Waktu terus berjalan. Saat kuliah, aku berusaha bertahan, berusaha fokus dengan jalan yang kutempuh. Namun bayang-bayang kehilangan itu belum selesai. Saat aku ingin menjalani KKN, kabar buruk datang: ayah meninggal. Penyakit usus buntu yang ia derita sejak awal operasi, selama empat tahun ditahan, akhirnya merenggut nyawanya.
Aku terdiam lama di hari itu. Bagaimanapun lukanya, bagaimanapun retaknya, ayah tetap ayahku. Kehilangannya membuatku sadar bahwa waktu bersama tidak akan pernah kembali. Motor gede, mesin, semua benda yang ia beli, tiba-tiba tak berarti lagi ketika ia sudah pergi.
Belum selesai aku berduka, setahun kemudian ibu pun menyusul. Tepat di saat aku sedang mempersiapkan wisuda. Kanker payudara yang pernah dioperasi saat awal aku masuk kuliah, kambuh kembali. Ia bertahan selama empat tahun, hingga akhirnya menyerah juga. Aku kehilangan dua orang tua dalam jarak yang begitu dekat.
Hari-hari itu menjadi masa paling berat dalam hidupku. Aku harus menghadapi kenyataan tanpa orang tua, tanpa rumah yang dulu, tanpa pegangan selain diriku sendiri. Kakak-kakakku sudah punya keluarga masing-masing. Aku tidak bisa bergantung pada siapa pun. Satu-satunya pilihan adalah menjadi mandiri.
Rumah kecil peninggalan ibu di pinggiran kota menjadi tempatku pulang. Di situlah aku belajar mengatur hidup sendiri. Mengurus rumah, mengurus diriku, mengurus masa depan yang masih samar. Semua kulakukan seorang diri, dengan doa dan ingatan akan mereka yang sudah tiada.
Aku sering merenung, kenapa semua harus terjadi menjelang titik-titik penting dalam hidupku KKN, wisuda, masa transisi. Tapi semakin kupikirkan, semakin aku sadar: mungkin Tuhan sedang menyiapkan aku untuk hidup lebih kuat. Bahwa aku harus belajar berjalan tanpa dituntun lagi.
Kini setiap kali aku menatap rumah kecil peninggalan ibu, ada rasa perih dan haru yang bercampur jadi satu. Perih karena kehilangan, haru karena masih ada tempat untukku bertahan. Betapa Tuhan Maha Baik, karena bahkan ketika mengambil ayah dan ibu, Dia tetap menyisakan ruang lain bagi diriku untuk membentukku saat menjalani hidup di dunia ini.
Bab 12 – Lingkungan Sehat dan Keluarga Kedua di Tempat Kerja (cooming soon - 24 April 2026 (¼ Abad))
Komentar
Posting Komentar