Menjadi Pelatih di Usia Muda


Tak semua remaja memiliki kesempatan untuk menemukan hobi sekaligus ladang penghasilan dari sesuatu yang disukai. Tapi aku bersyukur, di masa remaja dulu, aku menemukan pengalaman luar biasa lewat dunia panahan. Awalnya, aku hanya tertarik melihat panah dan busur ketika melintas di arena bermain panahan dekat rumahku. Dari rasa penasaran itu, aku mulai mencoba dan mendalaminya. Siapa sangka, dari sekadar mencoba, aku justru dipercaya untuk menjadi bagian dari komunitas Army Archery Club.

Sebagai anggota komunitas tersebut, aku tak hanya belajar memanah, tapi juga dilatih bagaimana mengajarkan panahan kepada orang lain. Hal yang paling menyenangkan adalah saat aku mulai diberi kesempatan untuk menjadi pelatih panahan di arena tersebut. Aku dibayar Rp10.000 per orang, untuk sesi latihan singkat selama 5 menit. Meskipun durasinya singkat, pelatihan itu sangat bermakna bagi anak-anak dan remaja yang ingin mencoba memanah dengan teknik yang tepat.

Biasanya, sepulang sekolah aku langsung menuju arena panahan, mengganti seragam sekolah dengan pakaian kasual, dan mulai bersiap melatih. Dalam satu hari, aku bisa melatih 7 hingga 10 orang, tergantung jumlah pengunjung arena. Penghasilan harian dari aktivitas ini memang tidak besar, namun cukup untuk membeli keperluan pribadi atau menabung sedikit demi sedikit. Yang lebih penting, aku mendapat pengalaman membimbing dan melihat ekspresi antusias para peserta.

Setiap sesi, aku mengajarkan dasar-dasar panahan: mulai dari cara berdiri yang stabil, bagaimana memegang busur, hingga menarik tali dengan teknik yang benar. Ada kepuasan tersendiri ketika melihat setiap orang yang awalnya canggung, perlahan-lahan mulai bisa mengenai target.


Yang membuatku makin bangga adalah ketika aku dipercaya untuk menjadi pelatih ekstrakurikuler panahan di SD IT Ad-Durrah. Setiap hari Minggu, aku datang ke sekolah tersebut untuk melatih siswa-siswi di kelas panahan. Di sana, aku dibayar Rp100.000 per jam, jauh lebih besar dari yang kudapat di arena panahan, namun tanggung jawabnya juga lebih besar.

Materi latihan di SD lebih terstruktur. Aku mengajarkan murid-murid bagaimana memasang tali busur dengan benar, memegang anak panah agar tidak tergelincir saat ditarik, serta teknik membaca arah angin. Meski mereka masih anak-anak, aku kagum dengan semangat dan fokus mereka saat sesi latihan berlangsung. Mereka benar-benar ingin bisa memanah dengan tepat sasaran.

Melatih anak-anak bukan hanya soal teknik, tapi juga soal kesabaran. Ada kalanya mereka rewel, ada pula yang takut tangannya sakit saat pertama memegang menarik tali busur. Di momen-momen seperti itu, aku belajar menjadi pendengar dan pembimbing yang baik. Aku belajar bagaimana mengomunikasikan hal teknis dengan cara sederhana yang mudah dimengerti anak-anak.

Pengalaman ini tidak hanya membuatku semakin mahir dalam panahan, tetapi juga membentuk karakterku. Aku belajar disiplin waktu, komunikasi efektif, tanggung jawab, dan tentu saja, bagaimana menyampaikan ilmu dengan sabar dan konsisten. Dunia panahan bukan lagi sekadar hobi, tapi telah menjadi ruang pembelajaran hidup yang sangat berharga.

Kini, saat aku melihat kembali masa ini, rasanya seperti menonton ulang kisah awal perjalanan karierku. Dari arena panahan sederhana dekat rumah, hingga dipercaya mengajar di lingkungan sekolah, semuanya mengajarkanku bahwa ketekunan dan kesungguhan akan membuka pintu-pintu kesempatan baru. Mungkin bagi sebagian orang, panahan hanyalah olahraga. Tapi bagiku, panahan adalah jalan sunyi yang memperkenalkanku pada dunia kerja dan pengembangan diri sejak dini.

Komentar